Text
Mala: Tetralogi Dangdut 2
Nora, buku pertama tetralogi Dangdut menceritakan pertemuan Nora dan Mala. Pernikahan keduanya berakhir dengan perpisahan, karena Nora mudik untuk menkah lagi dengan saudaranya. Mala yang secara tak disadari tersangkut dalam konspirasi makar, ditangkap sebagai tersangka pembunuhan mutilasi bintang film panas Midori. Kemudian Mala mengakui tindakannya, konon untuk menghindari pengadilan rakyat yang hendak dilakukan oleh fans berat Midori.
Akibat peristiwa itu, terjadi banyak pergulingan nasib orang-orang di sekitar Mala. Buku kedia tetralogi Dangdut ini, Mala, melukiskan perubahan itu tidak hanya terbatas pada masalah materi, tetapi juga rasa, kepribadian, serta tindakan-tindakan yang bersangkutan. Ternyata keadaan dapat membalikkan bukan hanya kesejahteraan, tetapi juga panutan. Hampir tak ada lagi nilai yang bisa dipegang sebagai jaminan kepastian, kecuali barangkalai kegilaan. Hampir tak ada lagi nilai yang bisa dipegang sebagai jaminan kepastian, kecuali barangkali kegilaan. Hanya orang-orang gilalah yang bisa keluar dari pelintiran keadaan dengan tetap utuh, sebab mereka tak lagi takluk oleh pikir dan rasa.
Kisah Nora dan Mala tenggelam dalam hiruk-pikuk berbagai muslihat baik individu maupun kelompok. Seabrek peristiwa berseliweran, tumpang tindih, kadang tak jelas ujung pangkalnya. Banyak yang tak masuk akal dan mengambang. Hidup jadi aneh melebihi dongeng. Namun Nora dan Mala masih ada di situ. Mereka terselip tak beda dengan bangsat di lepitan kursi. Berimpitan dengan jutaan orang-orang lain yang menuliskan sejarah masing-masing dengan pensil tumpul yang hampir tak terbaca,
I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan Bali, 11 April. Putra bungsu I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati ini menulis cerpen pertama di media lokal ketika kelas 3 SMP. Tamat Fakultas Hukum UGM ia bermain drama di Bengkel Teater, Teater KEcil, TEater populer, dan kemudian mendirikan Teater Mandiri pada 1971 di Jakarta. Motto kerjanya: Baertolak dari yang ada, untuk menciptakan Teror Mental". Beberapa karya Putu (novel, drama, cerpen) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Rusia, Jepang , Thailand, Arab, Ceko dan Bali. Dalam salah satu pengakuannya tentang proses kreatif, Putu menegaskan baha ia pemulung yang memunguti ceceran remah-remah yang tidak terpakai oleh orang lain. Ia merasa sedang menulis sebuah novel, cerpen, esai, lakon yang tidak pernah selesai."
No other version available