Text
Dari Salawat Dedaunan Sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta
Dalam sekali pukul pembacaan, kita akan menemukan sedikit ciri yang menandai sebagian besar cerpen (di buku ini). Pertama adalah pilihan bentuk dan gaya, atau cara penceritaan yang secara dominan dipenuho oleh kecenderungan yang mistik, lalu mengarahkan cerita pada simpulan atau akhir yang supranatural dan surealistik. Tak kurang dari 50 persen (11 cerpen) yang memiliki kecenderungan semacam ini, mulai dari "Wiro Seledri" karya GM Sudarta, "Biografi Kunang-Kunang" ( Sungging Raga), (Tono Lesmana), "BAtas Tidur" (Gde ARyantha Soethama). Dua cerpen yang terpilih sebagai "terbaik" pun - "Salawat Dedaunan" (YAnusa Nugroho) dan "Kunang-Kunang di Langit Jakarta" (Agus Noor) - memiliki sub genre yang sama.
Dalam kumpulan ini, ketujuh cerpen terpilih tetap dalam tegangan itu, saat mereka menjumput kembali khazanah cerita lokal, hingga logika, mitologi, dan mistisisme lokalnya. Katakanlah karya-karya mulai dari "Orang-Orang Larenjeng" (Damhuri Muhammad), "PAkiah dari PAroangan" (Gus tf Sakai) "Mar Beranak di Limas Isa (Guntur Alam, "Ikan Kaleng" ( Eko Triono) dan lainnya.
Cerpen Salawat Dedaunann dibungkus dalam alur sederhana dan bahasa yang mudah diikuti, tetapi memancing imajinasi yang tinggi. Kemuraman religiusitas masyarakat disikapi denan cara-cara yang amat "nglakono". Berbuat adalah cara paling baik untuk mendorong sebuah perubahan sikap. Kendati perubahan sikap masyarakat kemudian terjadi karena alasan berbeda, tetapi dorongan untuk berubah itu dipicu tindakan tak kenal menyerah.
No other version available