Text
Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949
Kalau teman-teman sudah membaca tiga jilid pertama buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, sayang sekali rasanya melewatkan buku keempat ini. Mengapa begitu? Karena pada buku keempat ini, teman-teman akan diajak untuk memasuki priode dramatis setelah pembebasan Tan Malaka sampai ia menghilang pada Februari 1948. Ia mulai dengan menghimpun pendukungnya yang telah tercerai-berai dan pada November 1948 mendirikan partai baru yang bernama Partai Murba. Akan tetapi pembentukan partai terganggu oleh serangan Belanda kedua pada Desember 1948. Saat itu Tan Malaka bermarkas di Kediri di bawah perlindungan batalyon TNI yang dipimpin Sabarudin. Sabarudin memiliki reputasi buruk sebagai seorang panglima perang yang bengis dan kejam. Di Kediri, Tan Malaka mempersiapkan tentara dan rakyat melakukan perang gerilya terhadap Belanda dengan tujuan Indonesia sebagai negara Sosialis. Sesudah ikut bergerilya ke Gunung Wilis, dalam pamflet yang ditulisnya tiap hari, ia menyerang Soekarno dan Hatta yang telah ditahan Belanda dan menuduh TNI di daerah yang bersikap putus asa. Bahkan dia memproklamirkan dirinya sebagai presiden Indonesia. Serentak TNI beraksi. Markas besar Tan Malaka dan Sabarudin ditumpas. Setelah suatu rangkaian peristiwa yang luar biasa, Tan Malaka dieksekusi oleh satuan lokal TNI di desa Selopanggung, 21 Februari 1949. Kematiannya dirahasiakan. (Sssttt, jangan bilang siapa-siapa ya.)rnSesudah 58 tahun barulah terungkap lokasi, tanggal, dan pelakunya, yaitu dalam edisi asli buku ini yang berbahsa Belanda (2007). Kematian Tan Malaka tidak mengakhiri gagasan radikalnya. Sampai akhir 1949 para pendukungnya terlibat dalam aksi-aksi gerilya melawan Belanda, TNI, dan pimpinan Republik. Namun dukungan rakyat ternyata tidak memadai sehingga kekalahan tidak dapat dihindari. Buku ini secara mendetail menggambarkan hal ikhwal perlawanan radikal ini. Bab terakhir mendokumentasikan pencarian lokasi Tan Malaka, penggalian jenazahnya pada tahun 2009, serta hasil autopsi. Tan Malaka tidak pernah mati, dia berlipat ganda dalam diri setiap orang muda, karena suaranya, tulisannya, dan bukunya, adalah suara orang Indonesia dengan beban sejarah yang sama dan mengalami dampak sejarah yang sama pula. rn
No other version available