Text
AKU: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar
Di bawah ini adalah Pengantar yang ditulis Bapak Rendra, Penyair terkenal IndonesiarnrnSemasa hidupnya Chairil Anwar tidak pernah dihargai oleh pare kritikus. Ia dianggap seniman yang bombastis, liar , dan penyair yang merusakkan nilai sastra dengan bahasa yang lugas tanpa dihias-hias. Tetapi setelah ia wafat, semua kritikus memujinya dan mengakuinya sebagai pelopor pembaruan seni sastra di Indonesia.rnrnSebagai penyair saya justru kagum kepada kemampuannya mempergunakan bahasa yang sangat dekat dengan bahas apercakapan sehari-hari. Untuk measyarakat kita yang suka bahasa basa-basi dan ungkapan yang penuh tata rias, ungkapan chairil Anwar mengandung obat kesegaran yang mendekatkan kita kepada aktulaitas kehidupan dan kristal perenungan yang jernih dari batin dan pikiran sang penyair. rnrnSebetulnya ia memulai karirnya pada masa penjajahan Jepang yang sumpek dan penuh tekanan. Tetapi ia bisa mengatasi kesulitan lingkungan hidup pada saat itu dan menciptakan lingkungan kreatifnya sendiri. Inilah nilai kehadiran kesenian dan kepribadian Chairil Anwar di dalam arena kebudayaan bangsa. Kesenian dan kepribadiannya menggugah daya hidup pembacanya, dan memberikan penyadaran kembali yang segar akan makna hidup yang sedang kita jalani ini. rupa-rupanya menemukan, menghayati, dan mempertahankan kedaulatan jati diri adalah kreativitas yang ekspresinya di dalam kesenian memberikan kaliber mutu kepada keseniannya itu sehingga menjangkau nilai yang universal.rnrnPanorama dunia saeni sastra Indonesia segera berubah setelah Chairil Anwar hadir dengan karya-karyanya. Ia telah membuka kesadaran pada seniman sezamannya dan sesudah zamannya. Mereka mulai melihat kemungkinan yang lebh luas untuk perkembangan kepribadian dan gaya kesenian yang baru. Orang boleh suka tau tidak suka kepadanya, tetapi telah terbukti harus diakui bahwa ia adalah salah satu dinamisator bagi kehidupan kebudayaan bangsanya. Rosihan Anwar (wartawan), Subadio (politikus), Sudjodono (pelukis), Baharuddin (pelukis dan redaktur), Takdir Alisjahbana (sastrawan, ahli bahasa, dan redaktur), Prof. Resink (ahli hukum, sastrawan, dan akademikus), dan masih banyak tokoh yang lain lagi, yang hidup sezaman dengan Chairil, semua memberikan kesaksian terhadap peran sang penyair sebagai penyegar ilham bagi zamannya. rnrnTidak mengerankan apabila Sjuman Djaya tertarik untuk menulis sebuah skenario tentang hidup Chairil Anwar. Ia menganggap bahwa setiap kenangan akan kehadiran sang penyair dan setiap pembacaan kembali sajak-sajaknya akan selalu menggugah dinamika di dalam kehidupan.rnrnTentu saja sangat sulit bagi sutradara film di Indonesia untuk menghidupkan kembali keadaan Jakarta di masa tahun 1940-1950. Trem kota sudah tidak ada. Wajah pelabhan sudah berubah. Begitu lalang di jalan pada masa itu akan sulit untuk dihadirkan kembali secar amaksimal. Dengan uang bergudang-gudang tentu hal semacam itu, semuanya dengan gampang akan bisa diciptakan di studio. Tetapi Sjuman Djaya tidak akan mungkin mendapatkan fasilitas semacam itu. Sebuah studio yang memadai saja tidak akan mungkin ia dapatkan, karena memang tak ada di negeri ini. Oleh karena itu, ia menulis ssskenario ini dalam gaya yang tumbuh dari kesadaran akan miskinnya fasilitas yang bakal ia hadapi. Tetapi betapapun ia lebih mengeluti alam pikiran dan alam kejiwaan sang penyair daripada alam jasmani kehidupannya, toh Sjuman tetap mempertegas gambaran bahwa jalan hidup dan ungkapan seni sang penyair selalu konstekstual dengn masyarakat pada zamannya, di samping bahwa juga tetap universal pada zaman kita yang sekarang ini.rnrnSayang sekali bahwa skenario ini tidak jadi dilaksanakan dalam bentuk film. Maka, adalah suatu itikad yang sangat baik dari penerbit untuk menerbitkan jejak kreatif dari seorang sutradara yang sudah mendahului kita berkelana ke alam seberang. Kepekaan redaksi penerbit ini pantas mendapatkan perhatian dan penghargaan.rnrnDemikianlah saya mengungkapkan rasa hormat saya kepada Chairil Anwar, Sjuman Djaya, dan penerbit.
No other version available