Text
Mengurai Hubungan Agama dan Negara
Senantiasa konflikkah hubungan antara agama dan negara? Dapatkah keduanya didamaikan? Bisakah sebuah negara-agama menjamin dan melaksanakan demokrasi? Selalukah negara-agama membangun sebuah negara teokratis yang dilandasi akidah?
Jawaban atas pertanyaan itu sekilas tampak dilematis: tak mungkin didamaikan. Namun, Abdurrahman Wahid, ahli asal usul sejarah Islam di Indonesia, punya pandangan sendiri. Menurutnya, untuk mengurai dilema negara -agama mau tidak mau harus dilakukan transformasi interen: agama harus merumuskan kembali pandangannya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di mua undang-undang dan solidaritas hakiki antara semua uamt manusia. Melalui upaya inilah tiap agama dapat berintegrasi dengan keyakinan lain dlam bentuk pencapaian sejumlah nilai dasaar universal yang mendudukan hubungan antar-agama pada sebuah tatarana baru.
Tataran baru itu adalah tahap pelayangan konkret yang diberikan agama kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu, seperti: penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat. Apabila sebuah agama memasuki tataran baru ini, barulah ia berfungsi melakukan pembebasan (tahrir, liberation). Hanya agama yang berwatak membebaskan yang dapat memberikan sumbangan bagi proses demokrasi.
Tahrir adalah tema sentral perjuangan dan obsesi Gus Dur sejak dulu. Akankah Gus Fur tetap konsisten dengan perjuangan itu, setelah ia menjadi orang nomor satu di republik ini?
No other version available