Text
Katolik Di Masa Revolusi Indonesia
Ketika hegemoni Portugis dan Spanyol di kawasan Perairan Hindia berakhir pada awal abad 17, praktis Gereja Katolik tidak ada pelindung. Peminpin baru VOC mendukung Gereja Kristen Gereformeerd yang mengambil alih jemaat Katolik di kawasan timur Indonesia. Baru abad ke-18 rohaniwan Katolik secara resmi dating kembalik di Jawa. Para rohaniwan yang dikirim misi bertugas “merawat” iman orang Eropa di Indonesia, antara lain personel militer dan pegawai negeri.rnrnDengan demikian boleh dikatakan, Gereja Katolik di Hindia Belanda tidak ikut berperan dalam perkembangan sejarah kolonialisme Belanda. Vatikan kemudian melakukan dua langkah penting. Pertama, menunjuk orang luar, Petrus Johannes willekens, putra wali kota di Provinsi Brabant, menjadi Vikaris Apostolik Batavia pada 1934. Kedua, pengangkatan Albertus Soegijapranata menjadi Vikaris Apostolik Semarang pada 1940. Pengangkatan kedua pejabat Gereja di Hindia Belanda itu menjadi penting, terutama dikaitkan dengan semakin matangnya nasionalisme di kalangan orang Katolik-suatu semangat yang juga sedang matang dan membara di bumi nusantara saat itu. Sejak menjadi mahasiswa di Berchmans-college di Oudenbosch, Soegijapranata sudah akrab dengan proklamator Mohammad Hatta yang saat itu menjadi mahasiswa di Rotterdam. Mgr. Soegijapranata pun sama akrabnya dengan proklamator lain, Ir. Soekarno.rnrnPergaulan yang luas tokoh-tokoh nasionalis itu, kemudian memberikan warna kepemimpinan Soegijapranata sebagai pejabat Gereja. Dari sinilah lahir konsepnya yang brilian terhadap dikotomi gereja dan negara. Mgr. Soegijapranata menegaskan, jadilah orang katolik 100%, sekaligus warga negara Indonesia 100%, gagasan ini pula yang mengilhami semboyan pro ecclesia et patria (untuk gereja dan tanah air).
No other version available